Dan hari ini tak
jauh berbeda dari hari-hari yang lalu, sangat melelahkan hati. Ada rindu yang
tak terjawab terbentur hati yang menurutku tak bernyawa. aku dan semua
emosional ini berbaur lara dalam hati hingga akhirnya butiran itu meleleh pelan
membasahi pipi, terjatuh, pecah berhamburan membasahi kursi di musim kemarau.
Ada apa dengan dirimu, hatimu tiba-tiba membatu. Ini bulan kelima kepergiannmu.
Tanpa kabar berita,,, kepergianmu menyeret tubuh, hati dan imajinasiku ke lembah
yang tak berujung, penuh liku dan noda. Beribu nasehat ku acuhkan, teman dan
sahabatkupun menghilang satu persatu, bukan karena tak peduli, namun karena aku
yang terlalu sibuk menikmati manisnya cinta yang kau berikan terlena oleh
pujian yang sebenarnya hanyalah ilusi yang dihadirkan oleh hatiku sendiri, yang
buta, dibutakan oleh harta dan pesonamu.
Sekilas wajah
ibu dan ayahku terlintas dalam pikiran, ada moment ketika aku sangat merindukan
mereka, ketika masa libur kuliah, aku menghabiskan waktuku di kampung halaman
menemani ibu ke ladang bermain dengan dedaunan yang melambai ditiup angin.
Ayahku sudah meninggal sewaktu aku tamat SMA, sewaktu akan berangkat kuliah di
Kota Makassar tiba-tiba penyakit ayah kambuh. Masih terngiang jelas bisikan
ayah di telingaku sebelum malaikat memisahkan aku dan ayahku. Rara… jaga sholatmu nak, jaga ibumu,
kuliahki baik-baik… jaga cita-citamu, semoga cita-citamu bisa membawa nama baik
di keluarga kita.
Oh tuhaaannnn
kenapa anak seperti aku harus lahir dari mereka… kenapa harus kau uji ibuku
dengan anak durhaka seperti aku. Air mataku semakin deras menetes. Ada perasaan
jijik yang menggebu akan diri ini. Kutahan isak tangis dengan kedua tanganku.
Kemana temanku, kemana sahabatku, aku rindu mereka, rindu tertawa bersama
mereka, rindu cerita-cerita mereka, aku rindu mereka. Ibu apa kabar dirimu,
rindu aku hangat tanganmu membelai rambutku, rindu aku dipelukanmu mendengar
senandung tidurmu.
Sumber: hanyabloghanna.blogspot.co.id |
Sudah lima
bulan aku hidup dalam kesedihan mendalam, sudah lima bulan pula aku tak mendengar
kabar darimu, darimu yang dulu begitu hangat di hatiku, mengisi setiap ruang
kosong hariku, darimu yang mengajarkanku arti sayang arti rindu dan benci,
darimu aku merasakan candu yang begitu dalam candu asmara yang tak seharusnya
menyapaku di masa pencarian jati diriku. Hingga sebuah malapetaka terjadi… candu
yang begitu kuat membuatku lupa segalanya, atas nama cinta, sayang dan apapun
itu aku serahkan harga diriku untuk dijamah oleh lelaki yang aku sebut malaikat
pelindungku. Sesungguhnya penyesalan itu adalah hal yang sangat menyakitkan,
dan sekarang baru aku sadari bahwa yang terjamah itu bukan hanya harga diriku
tapi harga diri agamaku, harga diri keluargaku dan harga diri semua perempuan
yang selama ini berusaha sekuat tenaga menjaga kehormatannya dari serigala
berwujud kelinci. Bermuka imut berhati bangsat. Yaahhh… akupun juga sudah
menjadi bangsat dan aib di dalam keluargaku.
Sudah lima
bulan ini aku hidup dalam kerapuhan, kuliahku hancur, sudah berkali-kali ibu meminta
untuk pulang. Perasaanya selalu gundah akan diriku ibu selalu bermimpi buruk
perihal diriku, namun aku selalu berkilah bahwa aku baik-baik saja dan mimpi
itu hanyalah pengaruh capek akibat berkerja di ladang. Ada-ada saja alasanku
untuk menolak permintaan pulang ibuku, banyak tugaslah, praktek lapanglah dan
semua alasan yang sekiranya dapat aku gunakan untuk menunda dan menunda. Hari-hariku
di kampus begitu sepi sahabatku sudah banyak yang ke daerah untuk penelitian,
dan yang tertinggal hanya orang-orang yang aku kenal sebatas senyum. Hari-hariku
yang dulu habis terbuang bersama orang yang sekarang menghancurkan hidupku. Sekarang,
hanya tempat ini, bersama kursi dan laptop tempatku berbicara memuntahkan semua
kejijikan hidup yang pernah aku alami yang dulu aku sebut itu cinta. Untuk
beberapa saat aku bisa tegar dari semua dosa yang aku perbuat, namun kesedihan
itu tak pernah musnah abadi. Selalu datang menghampiri membuatku jatuh kembali
dalam butiran air mata.
Rara…
Suara itu…, seolah-olah dunia
berhenti dipenglihatanku, suara itu… suara itu menyeretku kembali kemasa lalu,
masa sewaktu ospek, masa sewaktu kuliah bareng, jahil bareng, menonton film
korea bareng masa dimana susah dan tawa selalu ada di sekelilingku. Ada
perasaan rindu dan sedih yang mendalam dengan pemilik suara ini… dia Novi
sahabatku, sahabat dekatku
Tak kuasa aku
membalikkan badan menyambut kedatangannya, aku cuma tertunduk, menahan isak
tangis yang meronta keluar dari mulutku, perlahan dekapan tanganya menyelimutiku.
Tak kuasa aku menahan rindu, Kupeluk erat sahabatku ini, aku menangis
sejadi-jadinya. Lama aku dalam pelukannya. Kulampiaskan dahagaku akan sosok
sahabat yang aku rindui untuk berbagi. Aku rasakan butiran air menetes di kepalaku,
badanya bergertar kecil menahan tangis…
Tiga hari yang
lalu ibumu nelpon,Ra… dia menanyakan dirimu…, ibumu kok tumben nelpon ke aku,
pikirku kamu mungkin lagi ada masaalah. Tapi aku bilang ke ibumu kamu baik-baik
saja. Aku tidak ingin ibumu berpikir yang tidak-tidak, sebelum aku sendiri
memastikan keadaanmu. Namun baru hari ini aku bisa datang.
Cerita ke aku Ra… apa yang
terjadi denganmu?
Aku…
Aku hamil Nov…
Dan semua kisah pahit itu keluar berhamburan, seolah air yang menemukan
wadahnya mengalir dengan riak-riak kecil bernada lirih…
Novi terdiam, tak dilepaskan pelukannya, Novi sadar akan
kesedihan temannya dan betapa ia membutuhkan sosok untuk mencurahkan isi hatinya…
Kita harus pulang Ra… pulang ke
ibu di kampung
Aku tak sanggup menatap wajah ibu
,Nov…
Kita pulang sekarang atau
selamanya kamu akan hidup dalam linangan dosa…
Penyesalanmu tak akan
mengembalikan kebahagiaanmu… hanya maaf dari ibumu... itu yang terpenting saat
ini.
Besok aku akan berangkat ke
kampung menemui ibu, menjelaskan kondisimu, setelah itu baru kau menyusul
Sumber: rebanas.com |
Pagi itu... rumah panggung di
kaki bukit, rumah yang selalu aku rindui, rumah yang selalu mengembalikan
semangatku. Sosok tua sedang menyapu di halaman… dia berdiri terpaku menatapku.
Kerut wajahnya nampak jelas, keriput dimakan usia. Namun bukan itu yang
membuatku teriak lirih, ada butiran air mata yang menetes dari wajah lesunya,
senyum bercampur sedih… membuatku berlari menghamburkan diri ke pelukannya… mencium
kakinya… maafkan aku ibu…
Oleh :
M.Y. Weandara
Posting Komentar